Minggu, 18 November 2012


ISLAM DI SIAK

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Dalam sejarahnya, kerajaan Siak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dengan Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak, tepatnya di daerah Buantan. Letak Buantan lebih kurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini. Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap, dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725.Selanjutnya, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia mangkat pada tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.
Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa negeri luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan baik dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau. Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, di mana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak,tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah belah dan tipu muslihat.

BAB II

PEMBAHASAN

ISLAM DI SIAK

 

A.    Sejarah Kerajaan Siak

Mengulas Sejarah Kerajaan Siak sebagai salah satu kerajaan yang ada di indonesia. sebagai bahan renungan buat kita semua, bahwa karena jasa merekalah sampai sekarang masyarakat Siak Riau merasakan kemerdekaannya
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan.
Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.[1]
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.
Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.[2]
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999.


B.     Silsilah Kerajaan Siak
Raja Raja yang pernah berkuasa di kerajaanSiak sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723-1744), Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin syah(1744-1760), Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah(1760-1761), Sultan abdul Jalil Amaluddin Syah(1761-1766), Sultan Mohmad Ali Abdul Jalil Mu'azam Syah(1766-1779), Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah(1779-1781), Sultan Yahya Abdul Jalin Muzafar Syah(1782-1784), Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin(1784-1811), Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin(1811-1827), Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin(1827-1864), Sultan Assyaidis Syarif kasim I Abdul Jalil Syaifuddin(1864-1889), Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin(1889-1908), Sultan Assyaidis Syarif kasim II Abdul Jalil Syaifuddin(1908-1946)
Dalam sejarahnya, kerajaan Siak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dengan Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak, tepatnya di daerah Buantan. Letak Buantan lebih kurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini. Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap, dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725. Selanjutnya, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia mangkat pada tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.[3]
Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa negeri luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan baik dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau. Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, di mana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak, tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah belah dan tipu muslihat. Selama berdirinya, Kerajaan Siak telah berkali-kali berpindah ibukota, yang pertama di Buantan, Mempura, Senapelan, kemudian pindah lagi ke Mempura, dan terakhir di Kota Tinggi, yang lebih dikenal dengan nama Siak Sri Indrapura.
Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun 1723 hingga tahun 1946. Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari jajahan Belanda. Sejak itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari Republik Indonesia.
Wilayah Kerajaan Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu, Tanah Putih, Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang terdiri dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan perjanjian damai dengan Kerajaan Siak.
Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah hingga ke Kedah dan Pahang, namun gagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga pernah menyerang kerajaan Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menguasai negeri itu untuk beberapa lama.[4]
Urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak
1.      Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 – 1744)
2.      Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760
3.      Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 – 1761)
4.      Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5.      Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 – 1779)
6.      Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 – 1781)
7.      Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 – 1784)
8.      Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1811)
9.      Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10.  Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 – 1864)
11.  Sultan Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 – 1889)
12.  Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 – 1908)
13.  Sultan Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 – 1946.[5]
C.    Masuknya Agama Islam di Siak
Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.[6]
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, kemudian menjadi vazal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal. Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil.
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dalam Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri, yang ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.
Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.
Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor[10] sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari peperangan ini, Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut, kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera sampai ke Lautan Cina.[7]

D.    Masa Keemasan Kerajaan Siak
pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya dan atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan dan mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya. Ancaman dari Siak, serta di saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yang meminta balas atas jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim atas Johor memudar, dan pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vazal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Pada masa ini Siak Sri Inderapura telah mewarisi seluruh wilayah Johor terutama selepas meninggalnya Raja Sulaiman, sedangkan kedudukan Yang Dipertuan Muda diambil alih oleh Raja Ismail dan memaksa mereka pindah ke Selangor.
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.[8]
Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[15] termasuk wilayah Deli dan Serdang.  Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
E.     Perdagangan pada masa Kerajaan Siak
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis, di mana dalam deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan kekayaan dunia.[9]
Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah dan emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung
Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.
F.     Masa Turunnya Kerajaan Siak
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Sementara pada tahun 1859 Belanda membatalkan niat mereka untuk menaklukan Kesultanan Siak, dan memilih untuk tetap menjadikan Kesultanan Siak berdaulat atas wilayahnya setelah Sultan Siak menjamin untuk menghancurkan para perompak yang bersembunyi di wilayahnya.[10]
Namun Belanda mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Kemudian sejak tahun 1859, Belanda terus mencengkramkan pengaruhnya atas Kerajaan Siak, berdasarkan perjanjian pada 1 Februari 1859, telah menjadikan Siak Sri Inderapura sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, selanjutnya setiap pengangkatan raja mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selain itu dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis dan melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda.
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya. Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak
1.      Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 – 1744)
2.      Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760
3.      Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 – 1761)
4.      Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5.      Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 – 1779)
6.      Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 – 1781)
7.      Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 – 1784)
8.      Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1811)
9.      Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10.  Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 – 1864)


[1]http://siak-bungaraya.blogSusuri Kerajaan Melayu Islam Terbesar di Riau

[2]Ibid
[3]Luthfi, A. Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, ( Susqa Press. 1991 ), hlm, 50.

[4]Ghalib, W. Dkk, Adat istiadat Melayu Riau di bekas Kerajaan Siak Sri Indrapura: pengkajian dan pencetakan kebudayaan Melayu Riau, Lembaga Adat Daerah Riau, (Lembaga Adat Riau dan Pemerintah Daerah Tk. I Prop. Riau, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau. 1992), hlm 68.

[5]Umar Muhammad, Silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan Pelalawan.( Riau: Susqa Press 1988 ), hlm 47.
[6]spot.com/2009/04/sejarah-kerajaan-siak.html

[7]Luthfi, A, Op, Cit, hlm 89
[8]Ibid
[9]Wikipedia.spot.com/2008/04/sejarah-kerajaan-siak.html
[10]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar