ISLAM DI SIAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dalam sejarahnya, kerajaan Siak di Riau
terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dengan Sultan Suleiman. Sultan
Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, karena
Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu, Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus ke
Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak, tepatnya di daerah
Buantan. Letak Buantan lebih kurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura
sekarang ini. Karena merasa aman dan
tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap, dan oleh rakyat
setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan Siak
dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada
perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian
mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725.Selanjutnya,
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk
kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali
melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami
kegagalan. Ia mangkat pada tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan
Mohamad Abdul Jalil Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke
Mempura.
Sejak
Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa negeri
luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan
baik dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau. Sepanjang berdirinya,
Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara
peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, di mana Kerajaan Siak
berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda
berhasil menguasai Siak,tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil
dari pecah belah dan tipu muslihat.
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DI SIAK
A. Sejarah Kerajaan Siak
Mengulas Sejarah
Kerajaan Siak sebagai salah satu kerajaan yang ada di indonesia. sebagai bahan
renungan buat kita semua, bahwa karena jasa merekalah sampai sekarang
masyarakat Siak Riau merasakan kemerdekaannya
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.[1]
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.[1]
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah
Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini
adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100
tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar
yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699
Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri
Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke
Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan
kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara
tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Setelah Raja Kecik
dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun
1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja
Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut
Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup
besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan
diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri
ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak
Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.
Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap
di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan
pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke
Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif
Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota
Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa
pemerintahan Sultan Siak terakhir.
Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan
Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun
1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini
diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif
Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula
beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat,
beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di
Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau
ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul
Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani
(Sultan Syarif Kasim II).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau
pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau
berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik
Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu
Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta.
Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak
meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari
Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.[2]
Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan
Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan
Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping
Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan
Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah
status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi
Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun
1999.
B. Silsilah Kerajaan
Siak
Raja Raja yang pernah berkuasa di kerajaanSiak sultan Abdul Jalil Rakhmad
Syah Almarhum Buantan (1723-1744), Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin
syah(1744-1760), Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah(1760-1761), Sultan
abdul Jalil Amaluddin Syah(1761-1766), Sultan Mohmad Ali Abdul Jalil Mu'azam
Syah(1766-1779), Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah(1779-1781), Sultan
Yahya Abdul Jalin Muzafar Syah(1782-1784), Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul
Jalil Syaifuddin(1784-1811), Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil
Kholiluddin(1811-1827), Sultan Assyaidis Syarif Ismail
Abdul Jalil Syaifuddin(1827-1864), Sultan Assyaidis Syarif kasim I Abdul Jalil
Syaifuddin(1864-1889), Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin(1889-1908), Sultan Assyaidis Syarif kasim
II Abdul Jalil Syaifuddin(1908-1946)
Dalam sejarahnya,
kerajaan Siak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di
Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil) dengan
Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan
dalam konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari
kekalahan itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor,
kemudian Bintan dan terus ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman
Sungai Siak, tepatnya di daerah Buantan. Letak Buantan lebih kurang 10 km di
hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini. Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap,
dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat
sebagai Sultan Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di
Kemaharajaan Melayu. Ada perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian
kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang
mengatakan 1725. Selanjutnya, Sultan
Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk kembali
merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali melakukan serangan
terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia mangkat pada
tahun 1744, dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaludin
Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.[3]
Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang
dengan beberapa negeri luar, seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak
juga menjaga hubungan baik dengan negeri tetangga, seperti Minangkabau.
Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah
Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, di
mana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun
pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak, tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah
belah dan tipu muslihat. Selama
berdirinya, Kerajaan Siak telah berkali-kali berpindah ibukota, yang pertama di
Buantan, Mempura, Senapelan, kemudian pindah lagi ke Mempura, dan terakhir di
Kota Tinggi, yang lebih dikenal dengan nama Siak Sri Indrapura.
Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun
1723 hingga tahun 1946. Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan
terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk bergabung dengan negara kesatuan
Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari jajahan Belanda. Sejak
itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari Republik
Indonesia.
Wilayah Kerajaan
Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu, Tanah Putih,
Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah,
Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang
terdiri dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan
perjanjian damai dengan Kerajaan Siak.
Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah
hingga ke Kedah dan Pahang, namun gagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga
pernah menyerang kerajaan Sambas di Kalimantan Barat dan berhasil menguasai
negeri itu untuk beberapa lama.[4]
Urutan
raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak
1.
Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan
(1723 – 1744)
2. Sultan
Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760
3. Sultan
Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 – 1761)
4. Sultan
Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5. Sultan
Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 – 1779)
6. Sultan
Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 – 1781)
7. Sultan
Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 – 1784)
8. Sultan
Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1811)
9. Sultan
Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10. Sultan
Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 – 1864)
11. Sultan
Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 – 1889)
12. Sultan
Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 – 1908)
13. Sultan
Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 – 1946.[5]
C. Masuknya Agama Islam di Siak
Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan
kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak
lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika
dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun,
syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman
Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak
dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara
di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih
digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Walau telah menerapkan hukum Islam pada
masyarakatnya, namun pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya
masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat
Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam
hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan
dalam bentuk rumah
hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.[6]
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires
yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada
antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan
pelabuhan raja Minangkabau, kemudian menjadi vazal Malaka
sebelum ditaklukan oleh Portugal. Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor
sebagai bagian wilayah kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil.
Dalam Syair Perang
Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung,
didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis,
sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor.
Sementara Raja Kecil dalam Hikayat Siak disebut juga dengan sang
pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.
Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur
Jenderal Belanda di Melaka
waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil
merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul
Jalil dalam suratnya tersendiri, yang ditujukan kepada pihak Belanda menyebut
dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas
kematian Sultan Johor.
Sebelumnya dari catatan Belanda,
telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari
bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.Dalam salah satu
versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang
bagaimana hebatnya serangan Jambi
ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang
sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal
dan Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC
pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir
menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.
Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil
menguasai Kesultanan Johor[10]
sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang
Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yang
dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas
tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari
peperangan ini, Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di
pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan
kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak
dengan nama Siak Sri Inderapura.Sementara pusat pemerintahan Johor yang
sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan
begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang
bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor
diakui oleh komunitas Orang Laut, kelompok masyarakat yang bermukim
pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera sampai ke Lautan Cina.[7]
D. Masa Keemasan Kerajaan Siak
pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul
Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah
Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun
tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya,
berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman
kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya dan atas
keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas
hegemoninya pada kawasan kepulauan dan mulai membangun kekuatan baru pada
kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit
dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya. Ancaman dari Siak, serta di
saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yang meminta balas
atas jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan
Belanda di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian
direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.
Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim
atas Johor memudar, dan pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan
kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vazal di Kedah dan kawasan
pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat
perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas
kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian
muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yang awalnya tanpa ada
pertentangan di antara mereka Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda,
kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai
oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur
Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Pada masa ini
Siak Sri Inderapura telah mewarisi seluruh wilayah Johor terutama selepas
meninggalnya Raja Sulaiman, sedangkan kedudukan Yang Dipertuan Muda diambil
alih oleh Raja Ismail dan memaksa mereka pindah ke Selangor.
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah
menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut,
terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di
Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu
menaklukan Kelantan,
hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja
Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di
kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang.
Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit
kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak
menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu
kedatangannya ke Palembang.[8]
Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah
menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera.
Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat,
dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[15]
termasuk wilayah Deli
dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan
VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor,
sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau
Penyengat.
E. Perdagangan pada masa Kerajaan Siak
Kesultanan Siak
Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka
serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan
perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun
1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka Siak menjadi kawasan
segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.
Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang
Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan
Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak,
terlihat dalam Tuhfat al-Nafis, di mana dalam deskripsi
ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan
kekayaan dunia.[9]
Peranan Sungai Siak
sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap
kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan
pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan
timah dan emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah
menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan
industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan
cadangan kayu
yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat
akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi
kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung
kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang
tidak berujung
Dominasi
Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung
Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya
atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul
sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama
yaitu Siak,
Kampar,
dan Kuantan,
yang sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka.
Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya
gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.
F. Masa Turunnya Kerajaan Siak
Ekspansi
kolonialisasi Belanda
ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh
Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan
Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan
mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari
keturunan Tumenggung Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura.
Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau
Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.
Penguasaan Inggris
atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran
perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada
tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan
terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari
Inggris. Sementara pada tahun 1859 Belanda membatalkan niat mereka untuk
menaklukan Kesultanan Siak, dan memilih untuk tetap menjadikan Kesultanan Siak
berdaulat atas wilayahnya setelah Sultan Siak menjamin untuk menghancurkan para
perompak yang bersembunyi di wilayahnya.[10]
Namun Belanda
mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw
pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung
Pinang. Kemudian sejak tahun 1859, Belanda terus mencengkramkan
pengaruhnya atas Kerajaan Siak, berdasarkan perjanjian pada 1 Februari
1859, telah menjadikan
Siak Sri Inderapura sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda,
selanjutnya setiap pengangkatan raja mesti mendapat persetujuan dari Belanda.
Selain itu dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di
Bengkalis dan melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa
persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda.
Perubahan peta
politik atas penguasaan jalur Selat Malaka,
kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan dengan Inggris
dan Belanda
melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah
dikuasainya. Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris dan
Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi
tawar yang lemah. Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu
tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia,
walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah
tidak berarti lagi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah
kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang
ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini
tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk
untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor
bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang
bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke
Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di
Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.
Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan
kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak
lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika
dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun,
syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman
Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak
dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara
di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih
digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
Urutan
raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak
1.
Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan
(1723 – 1744)
2. Sultan
Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760
3. Sultan
Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 – 1761)
4. Sultan
Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5. Sultan
Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 – 1779)
6. Sultan
Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 – 1781)
7. Sultan
Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 – 1784)
8. Sultan
Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1811)
9. Sultan
Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10. Sultan
Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 – 1864)
[1]http://siak-bungaraya.blogSusuri Kerajaan Melayu Islam Terbesar di Riau
[2]Ibid
[3]Luthfi, A. Hukum dan
perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu
Siak, 1901-1942, ( Susqa Press. 1991 ), hlm, 50.
[4]Ghalib, W. Dkk, Adat
istiadat Melayu Riau di bekas Kerajaan Siak Sri Indrapura: pengkajian dan
pencetakan kebudayaan Melayu Riau, Lembaga Adat Daerah Riau, (Lembaga Adat
Riau dan Pemerintah Daerah Tk. I Prop. Riau, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau. 1992), hlm 68.
[5]Umar
Muhammad, Silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan
Kerajaan Pelalawan.( Riau: Susqa Press 1988 ), hlm 47.
[6]spot.com/2009/04/sejarah-kerajaan-siak.html
[7]Luthfi, A, Op, Cit, hlm 89
[8]Ibid
[10]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar